Gone Girl: Krisis Trafficking Perempuan di Indonesia

UNCovered Vol 3

United Nations Association in Indonesia | Research and Development: Substance

Penulis: Laksmitha Anindyanari, Halifa Alena Kusuma, Bintang Corvi Diphda

Ngga banyak yang sadar, tapi perdagangan perempuan di Asia Tenggara masih jadi isu akut yang terus berkembang di balik bayang-bayang kemiskinan, konflik, dan ketimpangan gender. Di Indonesia sendiri, laporan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan bahwa perempuan korban trafficking banyak dijebak lewat janji pekerjaan yang ternyata bermuara pada eksploitasi seksual atau perbudakan domestik. Ironisnya, jaringan perdagangan ini kerap melibatkan sindikat lintas negara dan beroperasi secara sistematis, membuat penanggulangannya jadi jauh lebih kompleks daripada yang dibayangkan.

Padahal, isu ini bukan cuma soal kriminalitas—tapi juga soal kemanusiaan. Banyak korban yang akhirnya kehilangan identitas, masa depan, bahkan nyawa. Walaupun beberapa upaya sudah dilakukan oleh pemerintah dan berbagai organisasi, termasuk badan-badan di bawah naungan United Nations seperti UN Women, jalan untuk memutus rantai perdagangan ini masih panjang. Lewat artikel ini, kita akan bedah berbagai aspek dari krisis trafficking perempuan di Indonesia—mulai dari akar permasalahannya, dampaknya, hingga peran lembaga internasional dan harapan kedepannya.

Perempuan dalam Perdagangan: Wajah Suram Trafficking di Indonesia

Di Indonesia, trafficking perempuan bukan hanya masalah domestik – namun sudah menjadi krisis lintas negara. Data dari United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) menunjukkan bahwa perempuan dan anak perempuan adalah kelompok yang paling rentan jadi korban perdagangan manusia, karena berbagai faktor kayak kemiskinan, budaya patriarki, dan ketimpangan akses pendidikan (UNODC, 2022). Dalam Global Report on Trafficking in Persons 2022, Indonesia disebut sebagai negara asal, tempat transit, sekaligus tujuan perdagangan manusia, khususnya buat perempuan muda (UNODC, 2022). Banyak dari mereka dijanjikan kerja di sektor informal atau ke luar negeri, tapi ujung-ujungnya malah masuk ke lingkaran kerja paksa, eksploitasi seksual, bahkan jadi korban perbudakan modern.

Yang bikin miris, kekerasan berbasis gender ternyata ngga cuma jadi penyebab, tapi juga jadi bagian dari praktik trafficking itu sendiri. Banyak perempuan yang sebelumnya sudah hidup dalam kekerasan—baik di rumah, komunitas, atau hubungan personal—akhirnya nekat pergi buat cari kehidupan baru. Sayangnya, di situlah mereka makin rentan ditipu dan dieksploitasi. Menurut UN Women, perdagangan perempuan ini ngga bisa dipisahkan dari isu kekerasan gender yang lebih luas. Artinya, solusinya ngga cukup dari hukum doang, tapi juga harus pakai pendekatan lintas sektor yang utamakan hak asasi manusia dan kesetaraan gender (UN Women, 2022).

Jalur Gelap: Modus, Sindikat, dan Rantai Eksploitasi

Di Indonesia, cara sindikat menjebak korban perempuan pun semakin canggih. Dulu, perekrut datang langsung ke desa-desa dengan janji manis pekerjaan di kota atau luar negeri. Sekarang, mereka banyak beraksi lewat media sosial dan agen kerja ilegal. Banyak korban dijanjikan jadi pekerja rumah tangga, kasir, atau model, tapi begitu sampai di tempat tujuan, mereka justru dipekerjakan secara paksa atau menjadi korban eksploitasi seksual (UNODC, 2022; IOM Indonesia, 2021).

Yang bikin ngeri, eksploitasi ini ngga cuma soal kerja paksa. Ada juga yang dijerat lewat pernikahan paksa lintas negara, misalnya ke Tiongkok atau Hong Kong. Kasus-kasus seperti ini banyak ditemukan pada perempuan dari Nusa Tenggara Timur atau Kalimantan, yang awalnya dijanjikan menikah dengan orang kaya tapi malah berujung jadi budak domestik tanpa akses bantuan (Kurniawati & Kurniasari, 2022). Di sektor formal seperti perikanan, pabrik, dan perkebunan pun, perempuan seringkali dipaksa kerja dalam kondisi buruk, tanpa upah layak dan tanpa perlindungan yang memadai (ILO & Walk Free Foundation, 2022).

Sindikat trafficking ini bekerja sangat sistematis. Ada yang bertugas merekrut korban, ada yang memalsukan dokumen, ada yang mengatur keberangkatan, dan ada pula yang ‘menampung’ korban di negara tujuan. Ini bukan aksi individu, melainkan bagian dari jaringan terorganisir berskala lintas negara. Makanya, meskipun sudah banyak upaya hukum, kasus-kasus seperti ini sulit untuk diberantas. Rasa takut untuk melapor pun kerap muncul akibat intimidasi dari pelaku, ditambah dengan status mereka yang tidak memiliki dokumen resmi untuk mengakses perlindungan (UNODC, 2022).

Gerak Bersama: Peran UN Women dalam Memberdayakan dan Melindungi Korban

Ngga banyak yang tahu kalau banyak penyintas perdagangan perempuan menghadapi tantangan berat setelah berhasil keluar dari lingkaran eksploitasi. Makanya, mereka tidak cukup hanya sekadar “diselamatkan” tapi mereka juga perlu mendapatkan suaka, dukungan psikologis, pemberdayaan, dan juga perlindungan hukum yang memadai. Maka dari itu, UN Women hadir untuk menjawab kebutuhan ini, dengan fokus pada pemulihan dan pemberdayaan jangka panjang para penyintas.

Salah satu program unggulan UN Women di kawasan Asia Tenggara adalah Safe and Fair: Realizing Women Migrant Workers’ Rights and Opportunities in the ASEAN Region, yang dijalankan bersama International Labour Organization (ILO) dan United Nations Office on Drugs on Crime (UNODC). (International Labour Organization, 2018) Program ini dirancang untuk mendukung pemerintah dan komunitas dalam membangun sistem migrasi yang adil dan aman – mulai dari pencegahan perekrutan ilegal hingga pemenuhan hak korban perdagangan manusia atas akses layanan pemulihan yang layak.

Di Indonesia sendiri, sejak tahun 2021, UN Women Indonesia aktif memperkuat sistem peradilan pidana terpadu dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan (Dewi, 2024). Upaya ini mencakup perlindungan dan pendampingan bagi perempuan pekerja migran yang menjadi korban kekerasan berbasis gender dan perdagangan manusia, khususnya di wilayah seperti Kepulauan Riau, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Inisiatif ini menegaskan peran strategis UN Women Indonesia dalam mengatasi kompleksitas isu perdagangan perempuan – tidak hanya melalui sisi penindakan, namun juga pemulihan dan pemberdayaan yang berkelanjutan

Menyulam Harapan: Menuju Masa Depan Bebas Perdagangan Perempuan

Perdagangan perempuan merupakan isu serius yang masih terus berlangsung hingga hari ini. Ngga cuma soal eksploitasi fisik, tapi juga soal hilangnya hak, martabat, dan masa depan banyak perempuan yang jadi korban. Masalah ini juga sering tersembunyi,  tidak tampak di permukaan karena pelaku memanfaatkan celah ekonomi, sosial, bahkan teknologi untuk menjebak korban tanpa disadari banyak orang. Meski tantangannya besar, harapan tetap ada. Kuncinya terletak di solidaritas lintas sektor: pemerintah, masyarakat sipil, komunitas, dan organisasi internasional yang harus bergerak bersama untuk menciptakan ekosistem yang benar-benar aman bagi perempuan. Hal ini membutuhkan kerja kolektif yang serius dan berkelanjutan – dari penegakan hukum yang tegas, reformasi sistem perlindungan, hingga pendampingan yang manusiawi bagi korban.

Selain itu, salah satu langkah untuk mengatasi adalah dengan membangun kesadaran publik melalui edukasi Kesadaran ini bisa kita bangun dari lingkup terkecil kita – dari keluarga, sekolah, komunitas, hingga ruang-ruang digital yang kita gunakan setiap hari. Semakin banyak orang paham dan sadar terkait bentuk-bentuk trafficking dan cara kerjanya, harapannya makin kecil orang bakal terjebak dalam kasus serupa.

Di sisi lain, kita sebagai generasi muda juga memiliki peran strategis. Kita bisa mengambil langkah awal dengan menyebarkan informasi yang kredibel, aktif dalam forum diskusi yang berkaitan dengan isu trafficking, hingga mendorong teman-teman di sekitar kita untuk ikut peduli. Sekecil apapun aksinya, kalau dilakukan bersama akan tumbuh  menjadi gerakan yang besar. Karena pada akhirnya, untuk menghapus praktik trafficking,, kita butuh lebih dari hanya sekadar regulasi – kita membutuhkan solidaritas, empati dan aksi nyata dari berbagai pihak untuk juga turut membangun kesadaran dan membangun dunia yang lebih adil – terutama bagi perempuan yang selama ini paling rentan menjadi korban.

References

Dewi, A. P. (2024, June 6). UN Women: Perlu kerja sama lindungi PMI perempuan korban kekerasan. Antara News; ANTARA. https://www.antaranews.com/berita/4140156/un-women-perlu-kerja-sama-lindungi-pmi-perempuan-korban-kekerasan

International Labour Organization (ILO) & Walk Free Foundation. (2022). Global estimates of modern slavery: Forced labour and forced marriage. https://www.ilo.org

International Labour Organization. (2018). Safe and Fair: Realizing women migrant workers’ rights and opportunities in the ASEAN region. International Labour Organization. https://www.ilo.org/projects-and-partnerships/projects/safe-and-fair-realizing-women-migrant-workers-rights-and-opportunities-0

IOM Indonesia. (2021). Counter-trafficking data brief: Victim assistance in Indonesia. International Organization for Migration. https://indonesia.iom.int

Kurniawati, Y., & Kurniasari, M. (2022). Marriage migration and trafficking: Indonesian women in transnational marriages. Asian and Pacific Migration Journal, 31(1), 36–54. https://doi.org/10.1177/01171968221075495

UN Women. (2022). Gender-based violence and trafficking: The interlinkages. https://www.unwomen.org

UNODC. (2022). Global report on trafficking in persons 2022. United Nations Office on Drugs and Crime. https://www.unodc.org

UNODC. (2022). Global report on trafficking in persons 2022. United Nations Office on Drugs and Crime. https://www.unodc.org