Berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak-Hak Anak, kaum muda memiliki hak untuk memperoleh perawatan kesehatan yang bersifat preventif dan mendapatkan perlindungan khusus bagi mereka yang mengalami kondisi sulit atau penyandang disabilitas (Convention on the Rights of the Child, 1989). Aksesibilitas kaum muda terhadap fasilitas dan pelayanan kesehatan yang inklusif dan memadai masih sangat terbatas, khususnya pada negara-negara berkembang. Salah satu faktor terbesar yang melatarbelakangi hal tersebut adalah eksistensi stigma bahwa masyarakat dengan usia remaja memiliki kesehatan yang jauh lebih prima daripada kelompok anak-anak dan lansia. Oleh karena itu, kaum muda seringkali mengalami diskriminasi ketika ingin mengakses layanan kesehatan yang layak.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), angka kematian remaja yang pada umumnya diyakini lebih rendah daripada angka kematian anak-anak dan orang tua tidak bisa dijadikan alasan untuk menurunkan urgensi pemberian layanan kesehatan yang ramah bagi para pemuda. WHO menekankan bahwa terdapat beberapa alasan yang saling berkaitan tentang pentingnya memprioritaskan kesehatan remaja (World Health Organization, 2002). Pertama, usia remaja merupakan masa dimana seseorang mulai mengalami perubahan secara fisik dan emosional akibat proses pematangan seksual. Jika proses tersebut tidak didukung dengan pendidikan seksualitas dan layanan kesehatan yang inklusif, maka kaum muda akan menjadi semakin rentan terinfeksi penyakit seksual menular. Kedua, tingginya angka infeksi penyakit seksual menular dan angka kehamilan pada remaja menjadi faktor penyumbang terbesar terhadap peningkatan angka kematian pada remaja. Ketiga, optimalisasi pemberian layanan kesehatan bagi kaum muda harus dipandang sebagai sebuah investasi karena hal tersebut akan berdampak pada pembentukan sumber daya manusia yang unggul dan mempengaruhi kualitas kesehatan generasi selanjutnya.
Selain daripada beberapa poin yang diutarakan WHO, layanan kesehatan yang ramah bagi kaum muda, khususnya dalam hal kesehatan seksual dan reproduksi, menjadi sangat dibutuhkan karena pasien remaja memerlukan pendekatan khusus dari para tenaga kesehatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Geary dkk. (2015), para pasien muda lebih merasakan kenyamanan ketika tenaga kesehatan bersikap ramah, menghargai, dan dapat berkomunikasi dengan baik dengan kaum muda. Di sisi lain, tenaga kesehatan yang tidak terlatih dalam menangani pasien muda, gagal menjaga kerahasiaan pasien dengan melaporkannya kepada orang tua, menunjukkan ekspresi negatif terhadap pasien muda yang berupaya mencari informasi akan hal-hal yang dianggap tabu, dan menunjukkan produk sanitasi tidak layak pakai menyebabkan kaum muda mendapatkan pengalaman yang kurang memuaskan dalam pelayanan kesehatan (Geary dkk., 2014; Geary dkk., 2015; Ninsiima, 2021).
Guna mewujudkan pelayanan kesehatan yang ramah terhadap kaum muda, para pemuda harus dilibatkan dalam proses formulasi kebijakan terkait pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi. Disamping itu, tidak dapat dipungkiri bahwa aktor yang paling mampu merangkul kaum muda lainnya adalah kaum muda itu sendiri karena mereka memiliki pengalaman yang serupa karena berasal dari satu generasi yang sama. Bertolak dari kedua landasan tersebut, Global Network of Young People Living with HIV (Y+ Global) bekerja sama dengan Program Gabungan PBB untuk HIV dan AIDS (UNAIDS) dalam menciptakan gebrakan youth-led response atau tanggapan terhadap HIV/AIDS yang dipimpin oleh kaum muda. Adapun komponen dari youth-led response terdiri atas: (i) kepemimpinan dan keterlibatan kaum muda; (ii) pengawasan dan penelitian yang dipimpin oleh kaum muda; (iii) advokasi dan kampanye yang dipimpin oleh kaum muda; (iv) pemberian layanan pencegahan dan penanganan HIV oleh kaum muda; dan (v) pembiayaan jangka panjang yang inovatif dan fleksibel (Joint United Nations Programme on HIV/AIDS, 2024).
Keterlibatan kaum muda dalam menanggapi tantangan pencegahan dan penanganan HIV yang ada mampu menjadi katalisator bagi tercapainya target 95-95-95 dari Strategi AIDS Global UNAIDS 2021-2026, yaitu 95% orang yang hidup dengan HIV dapat terdiagnosis, 95% dari mereka yang terdiagnosis dapat mengakses pengobatan, dan 95% dari mereka yang dalam pengobatan berhasil menekan jumlah virusnya. Kaum muda pengidap HIV dan kaum muda dari populasi kunci harus diberdayakan untuk memimpin gerakan penanggulangan HIV. Mereka harus terlibat dalam proses perencanaan kebijakan dengan mengidentifikasi kesenjangan pada pelayanan yang ada dan memberikan solusi pengembangan. Selain itu, tindakan pencegahan dan penanganan HIV yang dipimpin oleh kaum muda juga harus disertakan oleh advokasi dan kampanye mengenai dekriminalisasi serta penghapusan stigma dan diskriminasi yang mempengaruhi kaum muda dari populasi kunci dan Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Hal penting lainnya yakni hubungan strategis antara organisasi yang dipimpin oleh pemuda dengan aktor-aktor penting lainnya seperti penyedia layanan kesehatan, pemerintah, dan LSM harus terjaga untuk membentuk kelembagaan yang kuat.
Meskipun beberapa program pencegahan dan penanganan HIV telah diupayakan oleh berbagai pihak, nyatanya pemuda di Indonesia masih menghadapi tantangan yang signifikan dalam mengakses pelayanan kesehatan yaitu belum terwujudnya lingkungan yang kondusif untuk penanggulangan HIV/AIDS. Di Indonesia, lingkungan yang kurang kondusif ini mencerminkan berbagai hambatan, termasuk diskriminasi dalam pelayanan kesehatan dan kebijakan pemerintah yang belum sepenuhnya berpihak kepada kelompok rentan, khususnya kaum muda. Lingkungan yang kondusif sangat penting untuk mendukung keberhasilan program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia. Namun, faktanya masih banyak kendala yang dihadapi. Salah satu hal yang menjadi masalah utama yaitu diskriminasi yang terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan. Layanan kesehatan yang seharusnya memberikan perlindungan dan dukungan bagi para penderita HIV, sering kali malah menjadi tempat di mana mereka menjadi semakin tertekan akibat stigma negatif yang diberikan.
Diskriminasi dalam pelayanan kesehatan ini tidak hanya sebatas sikap negatif dari tenaga kesehatan, melainkan juga terlihat dalam ketidaksetaraan akses terhadap pengobatan dan perawatan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA) di lima wilayah, yaitu Kabupaten Bekasi, Kota Banjar, Kota Bandar Lampung, Kota Cirebon, dan Kota Kendari, sebagian besar responden menyatakan keberatan dengan biaya yang dibebankan kepada pasien HIV. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa beberapa Puskesmas (PKM) menetapkan harga untuk akses obat antiretroviral (ARV) di luar yang telah diatur dalam peraturan daerah, dengan kisaran biaya antara Rp40.000,00 hingga Rp60.000,00. Nominal tersebut dirasa memberatkan oleh para pasien (GWL-INA, 2022). Kondisi ini mencerminkan ketidakpastian yang dihadapi oleh kaum muda Indonesia dalam mengakses perawatan HIV yang seharusnya menjadi hak dasar bagi mereka.
Selain kendala dalam akses dan biaya, stigma dan diskriminasi masih menjadi tantangan besar dalam penanggulangan HIV/AIDS di kalangan generasi muda. Berdasarkan data, masih ada sekitar 11,5% stigma dan diskriminasi yang dilakukan oleh petugas kesehatan terhadap pasien, terutama bagi mereka yang merupakan lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki dan transpuan. Bentuk diskriminasi ini meliputi sikap yang tidak ramah, seperti tatapan sinis, ceramah yang tidak diinginkan, atau bahkan tekanan agar pasien bertobat. Beberapa pasien juga melaporkan bahwa mereka ditanyakan pertanyaan-pertanyaan yang sangat pribadi, yang menimbulkan rasa tidak nyaman (GWL-INA, 2022). Perlakuan seperti ini menyebabkan banyak pasien merasa malas atau canggung untuk mengakses layanan kesehatan, yang pada akhirnya menghambat upaya pencegahan dan pengobatan HIV/AIDS secara efektif. Dalam jangka panjang, stigma dan diskriminasi ini tidak hanya merugikan individu yang terkena dampak langsung, tetapi juga memperlambat upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap kaum muda dengan HIV tentunya merupakan langkah krusial dalam meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV. Stigma dan diskriminasi terkait HIV sangat umum terjadi dan terus merusak upaya pencegahan serta perawatan yang ada. Menurut Laporan AIDS Global 2024, pada 42 negara dengan data survei terbaru, sebanyak 47% orang memiliki sikap diskriminatif terhadap pengidap HIV — enam kali lebih tinggi dari target global tahun 2025 yang disepakati di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Juni 2021 lalu. Data dari studi Stigma Index 2.0 di 25 negara juga menunjukkan dampak serius dari sikap ini. Hampir satu dari empat orang pengidap HIV melaporkan adanya stigma dan diskriminasi di komunitas mereka dalam 12 bulan terakhir, dengan orang-orang dari populasi kunci, seperti kaum muda, menjadi yang paling rentan. Selain itu, stigma yang diinternalisasi juga umum terjadi dimana lebih dari sepertiga (38%) orang yang hidup dengan HIV melaporkan perasaan malu dengan status mereka, terutama di kalangan kaum muda berusia 18–24 tahun (Joint United Nations Programme on HIV/AIDS, 2024).
Oleh sebab itu, intervensi pemuda dalam penanganan HIV bagi remaja bersifat krusial. Pada Oktober 2023, Forum Global untuk Remaja meluncurkan Agenda Aksi untuk Remaja, yang menyerukan tindakan lebih kuat untuk kesehatan dan kesejahteraan remaja. Indonesia sendiri memiliki berbagai LSM yang dipimpin oleh kaum muda, contohnya seperti Intimuda Indonesia dan GWL-INA yang telah menunjukkan peran penting dalam mengurangi stigma dan diskriminasi terkait HIV. Melalui berbagai program pemberdayaan, mereka berhasil menjangkau anak atau kaum muda yang hidup dengan HIV dan memberikan dukungan serta edukasi yang diperlukan. Program-program ini tidak hanya berfokus pada peningkatan akses ke pelayanan kesehatan, tetapi juga menyampaikan pesan-pesan positif yang dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap HIV. Dukungan penuh dari pemerintah dan pendanaan global akan sangat membantu dalam memperluas cakupan program-program ini dan memastikan bahwa setiap kaum muda dengan HIV mendapatkan perlakuan yang layak.
Thailand merupakan salah satu negara yang sukses melakukan pemberdayaan pemuda dalam penanganan HIV. Negara ini sepenuhnya berkomitmen untuk mengakhiri AIDS sebagai ancaman kesehatan masyarakat sebagai bagian dari agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030. Komitmen tersebut membuat Thailand diakui secara internasional atas pendekatan ‘peer-to-peer‘ yang dimulai pada tahun 1996, di mana orang yang hidup dengan HIV (ODHA) saling mendukung melalui inisiatif yang kini dikenal sebagai ‘Pusat Perawatan Komprehensif’ (CCC). Hingga saat ini, terdapat sekitar 219 jaringan CCC di seluruh Thailand, yang menyediakan dukungan bagi ODHA di tingkat distrik, provinsi, dan nasional (United Nations Thailand, 2023).
Kontribusi komunitas muda dalam inisiatif ini sangat signifikan karena memiliki pemahaman mendalam tentang kebutuhan dan hambatan yang dihadapi oleh kelompok kunci dan rentan, seperti pria yang berhubungan seks dengan pria, migran, pengguna narkoba, pekerja layanan, orang transgender, dan pemuda (United Nations Thailand, 2023). Keberhasilan ini menunjukkan bahwa dengan komitmen yang kuat dan pendekatan yang tepat, stigma dan diskriminasi terhadap orang muda dengan HIV dapat diminimalisasi secara signifikan. Pada intinya, kolaborasi antara kaum muda dan pemerintah adalah kunci untuk mewujudkan tujuan UNAIDS di Indonesia. Melalui pendekatan yang inklusif dan berbasis komunitas, serta dukungan kebijakan yang mendukung, kita dapat mengurangi stigma dan diskriminasi, sekaligus memastikan bahwa setiap orang muda yang hidup dengan HIV mendapatkan perawatan dan dukungan yang mereka butuhkan.
United Nations Thailand. (2023, November 24). Thailand partners recognize communities’ contribution to HIV response success. Thailand. https://thailand.un.org/en/253567-thailand-partners-recognize-communities%E2%80%99-contribution-hiv-response-success
Convention on the Rights of the Child, General Assembly (1989) (testimony of UN General Assembly). https://www.refworld.org/legal/agreements/unga/1989/en/18815
Geary, R. S., Gómez-Olivé, F. X., Kahn, K., Tollman, S., & Norris, S. A. (2014). Barriers to and facilitators of the provision of a youth-friendly health services programme in rural South Africa. BMC Health Services Research, 14(1), 1–8. https://doi.org/10.1186/1472-6963-14-259
Geary, R. S., Webb, E. L., Clarke, L., & Norris, S. A. (2015). Evaluating youth-friendly health services: Young people’s perspectives from a simulated client study in urban South Africa. Global Health Action, 8(1). https://doi.org/10.3402/gha.v8.26080
Joint United Nations Programme on HIV/AIDS. (2024). The urgency of now: AIDS at a crossroads. https://www.unaids.org/sites/default/files/media_asset/2024-unaids-global-aids-update_en.pdf
Joint United Nations Programme on HIV/AIDS. (2024). Youth Next Level: guidance to strengthen sustainable youth-led HIV responses. https://www.unaids.org/sites/default/files/media_asset/youth-next-level_en.pdf
GWL-INA. ( 2023, Mei 5 ) Monitoring Kualitas Layanan dan Kebijakan Layanan HIV bagi Pengguna Layanan 2022. https://gwl-ina.or.id/wp-content/uploads/2023/05/Laporan-_Monitoring-Kualitas-Layanan-dan-Kebijakan-Layanan-HIV-bagi-Pengguna-Layanan-2022_-Rumah-Cemara.pdf
Ninsiima, L. R., Chiumia, I. K., & Ndejjo, R. (2021). Factors influencing access to and utilisation of youth-friendly sexual and reproductive health services in sub-Saharan Africa: a systematic review. Reproductive Health, 18(1), 135. https://doi.org/10.1186/s12978-021-01183-y
World Health Organization. (2002). Adolescent Friendly Health Services. https://doi.org/10.4274/tpa.46.20