Ngga bisa dipungkiri, masalah keterbatasan tenaga pendidik dan sulitnya akses pendidikan bagi siswa dengan disabilitas masih menjadi masalah nasional yang perlu menjadi perhatian pemerintah dan juga publik. Pasalnya, penanganan yang masih minim membuat permasalahan ini selalu menjadi momok dalam penyediaan pendidikan yang berkualitas dan merata. Kalau mengacu pada Data Pokok Pendidikan tahun 2023, kuantitas guru reguler yang dilatih untuk mendampingi penyandang disabilitas hanya sebesar 10.244, sedangkan guru pendamping khusus hanya sebesar 4.695. Di sisi lain, kuantitas SLB di Indonesia telah mencapai 40.165 dengan total peserta didik mencapai 135.874. Sayangnya, di 2.326 Sekolah Luar Biasa (SLB) sendiri harus melayani 152.756 peserta didik (Stephanus, dkk., 2023). Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan pada sistem pendidikan inklusif untuk menyediakan layanan yang memadai bagi peserta didik dengan disabilitas.
Sebenarnya, eksistensi program pendidikan bagi siswa disabilitas dari pemerintah dan kesadaran orangtua dengan anak penyandang disabilitas untuk menyekolahkan anak-anak mereka sudah mulai meningkat. Meskipun begitu, peningkatan yang terjadi tidak berbanding lurus dengan peningkatan kuantitas tenaga pendidik khusus siswa disabilitas. Di artikel kali ini, kita akan membahas beberapa permasalahan utama mengenai pendidikan bagi peserta didik penyandang disabilitas.
Pertama-tama, penting banget, nih, untuk bahas mengenai distribusi SLB di Indonesia. Kamu tahu, ngga, kalau saat ini 49% SLB berjejer hanya di Jawa? Sementara itu, daerah pedesaan menjadi tertinggal dalam akses pendidikan bagi penyandang disabilitas (Kemdikbudristek, 2023). Permasalahan ini diperparah karena minimnya guru yang terkualifikasi dan minimnya perguruan tinggi yang memberikan jurusan Pendidikan Luar Biasa bagi para guru. Coba bayangkan, di Indonesia hanya ada 13 perguruan tinggi yang menawarkan program studi Pendidikan Luar Biasa bagi jenjang S1, dan hanya perguruan tinggi bagi jenjang S2 (BAN-PT, 2022). Nah, minimnya institusi yang dapat memberikan pelatihan khusus untuk guru SLB ini tentunya akan berdampak banget pada kualitas dan kuantitas guru bagi siswa dengan disabilitas. Nyatanya, pertumbuhan jumlah siswa penyandang disabilitas dari 2021-2023 sebesar 15%. Hal ini ngga sebanding dengan pertumbuhan guru di SLB yang hanya sebesar 5% pada periode yang sama (Kemdikbudristek, 2023).
Tentunya hal ini berdampak besar bagi akses pendidikan teman-teman disabilitas, terutama mereka yang berada di daerah terpencil. Keterbatasan guru mengakibatkan kelas dengan siswa dengan disabilitas melebihi kapasitas dan menghambat efektivitas belajar-mengajar. Untuk mengatasi tantangan ini, kebijakan yang mendukung redistribusi SLB ke daerah terpencil, investasi dalam pelatihan guru khusus, dan peninjauan ulang insentif untuk mendukung guru yang bekerja di daerah terpencil menjadi hal yang krusial. Dengan langkah-langkah ini, setiap pelajar dapat memiliki akses setara terhadap pendidikan inklusif, tanpa memandang lokasi geografis mereka.
Walaupun pendidikan bagi bagi teman-teman penyandang disabilitas di Indonesia masih memiliki banyak tantangan, pemerintah terus berusaha mengembangkan pendidikan inklusif. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPI). Tapi, kamu tahu, ngga, perbedaan antara SPPI dan SLB?
Pendidikan inklusif, menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009, diartikan sebagai sistem yang memberikan peluang kepada peserta didik dengan kelainan yang memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa agar dapat belajar bersama dengan peserta didik pada umumnya. Pendekatan ini diharapkan memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada semua peserta didik, termasuk yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, untuk mendapatkan pendidikan bermutu sesuai kebutuhan dan kemampuan mereka, sambil menciptakan lingkungan pendidikan yang menghargai keberagaman dan bebas dari diskriminasi (Kemdikbudristek, 2022).
Artinya, SPPI merupakan lembaga pendidikan reguler (non-SLB) yang menyediakan layanan khusus untuk siswa dengan disabilitas. Di sekolah ini mereka belajar dengan teman sebaya pada umumnya (Kemdikbudristek, 2017). Sementara SLB adalah lembaga pendidikan eksklusif yang hanya melayani teman-teman penyandang disabilitas tanpa menggabungkannya dengan siswa reguler. Saat ini, sudah terdapat 44 ribu sekolah reguler yang telah bertransformasi menjadi SPPI di berbagai daerah di Indonesia (Tempo, 2023).
Kalian tahu, ngga, kalau ada banyak kegiatan dan program sudah dijalankan oleh United Nations (UN) dan lembaga-lembaga UN lainnya yang bertujuan untuk memberdayakan pendidikan bagi penyandang disabilitas, lho. Misalnya melalui Management of Social Transformation (MOST), program kolaborasi antara United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang fokus pada peningkatan pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas (BRIN, 2022). MOST merupakan program UNESCO yang bermitra dengan pemerintah, komunitas ilmiah, dan masyarakat sipil untuk membantu negara-negara anggota UNESCO dalam merumuskan research-based policy (UNESCO, 2024). Di Indonesia, MOST telah memberikan kontribusi penting dalam menciptakan paradigma inklusif, berkelanjutan, berbasis riset, dan solutif implementatif dalam pendidikan.
Selain Itu, UN melalui United Nations Population Fund (UNFPA) juga aktif memberikan pendidikan tentang aspek emosional, fisik dan sosial kepada remaja dengan disabilitas dan juga turut meningkatkan kemampuan guru dalam memberikan pendidikan kesehatan reproduksi remaja. Program ini sudah dilaksanakan di sejumlah wilayah di Indonesia, mulai dari Jawa Barat, Aceh, Sumatera Utara, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, hingga Papua. Hingga saat ini, program ini telah berhasil memberdayakan 332 “guru utama,” yang kemudian melatih 694 guru di SLB, 1.158 guru di sekolah menengah pertama (SMP) dengan menggunakan kurikulum yang sudah dirancang, dan menjangkau 14.712 siswa SMP serta 246 siswa dengan disabilitas (UNFPA, 2024).
Meskipun jumlah dan kualifikasi tenaga pendidik khusus masih terbatas, upaya seperti transformasi sekolah reguler menjadi Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPI) memberikan harapan baru bagi teman-teman penyandang disabilitas untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi mereka. Di tengah tantangan yang dihadapi dalam menyediakan pendidikan inklusif bagi siswa disabilitas di Indonesia, langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah, lembaga internasional seperti PBB, dan berbagai pihak terlibat lainnya sangatlah penting untuk dipertimbangkan dengan serius.
Jangan khawatir! Masih terdapat banyak peluang besar untuk memperluas jaringan sekolah inklusif, meratakan distribusinya di seluruh wilayah Indonesia, dan melibatkan lebih banyak tenaga pendidik terlatih dalam mendampingi siswa dengan disabilitas. Langkah-langkah ini juga akan memerlukan kerja sama yang erat antara pemerintah, lembaga pendidikan, masyarakat, dan pihak-pihak terkait lainnya. Upaya bersama ini diharapkan dapat memastikan bahwa setiap penyandang disabilitas di Indonesia memiliki akses yang setara terhadap pendidikan berkualitas, tanpa terkecuali atau terbatas oleh lokasi atau kondisi apapun. Dengan demikian, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan memberikan peluang yang setara bagi setiap individu untuk berkembang dan berkontribusi secara maksimal.