Apakah teman-teman termasuk tipe konsumen yang ‘Buy now regret later’ atau konsumen yang bertanggung jawab? Tahukah teman-teman bahwa perilaku membeli secara berlebihan disebut perilaku konsumtif atau konsumerisme. Konsumerisme sendiri adalah budaya di mana manusia mengonsumsi sesuatu di luar batas kebutuhannya. Hal ini bisa terjadi di banyak aspek, seperti makanan, fashion hingga kepemilikan gawai.
Aktivitas konsumsi tidak hanya dipandang sebagai upaya memenuhi kebutuhan, tetapi juga sebagai upaya memperoleh kepuasan psikologis, pencapaian status, dan juga kebahagiaan (Lister, 2016). Kalau kita melihat sejarah, hal ini sudah mulai terjadi sejak awal abad ke-19 di negara Eropa ketika terjadi pola konsumsi yang signifikan meningkat terhadap kendaraan. Masyarakat disana memandang bahwa kepemilikan kendaraan dapat memproyeksikan kekuatan sosialnya, dibanding hanya sekadar menjadi alat transportasi (Stearns, 2006). Ternyata fenomena ini juga masih bisa kita jumpai di jaman modern ini.
Di era industri dan ekonomi saat ini, akses untuk membeli sesuatu menjadi lebih mudah. Di sisi lain hal ini memudahkan kita sebagai konsumen untuk mencukupi kebutuhan atau keinginan. Tapi tahukah teman-teman bahwa di sisi lain aktivitas ini memiliki banyak sisi negatif, terutama untuk bumi. Selain terkait sampah yang kita produksi, mengkonsumsi banyak barang berarti juga mengkonsumsi banyak energi yang dibutuhkan untuk memproduksi dan mendistribusikan barang tersebut. Di Amerika sendiri, 2% dari total konsumsi energi tahunan terbuang sia-sia melalui limbah makanan (Cuéllar & Webber, 2010). Di edisi UNCovered kali ini, kita akan membicarakan tentang budaya konsumerisme yang marak terjadi saat ini terhadap beberapa aspek nih, yaitu makanan, fashion, dan gawai!
Teman-teman tahu, ngga, bahwa Indonesia merupakan negara ketiga di dunia dengan tingkat limbah makanan terbesar. Indonesia tercatat telah membuang sekitar 46,35 juta ton makanan pada tahun 2022, melebihi jumlah sampah plastik pada tahun yang sama seberat 26,7 ton (Unnes, 2023). Fenomena konsumsi pakaian di Indonesia juga menunjukkan tren yang relatif sama. YouGov (2017) mencatat, 66% masyarakat dewasa di Indonesia membuang setidaknya satu pakaian mereka dalam setahun. Bahkan, tiga dari sepuluh orang Indonesia setidaknya pernah membuang pakaian setelah hanya 1x pemakaian.
Terkait gawai, adanya model gawai baru seperti HP, tablet, atau laptop terbaru setiap bulannya tentu menarik beberapa dari kita untuk membelinya. Konsumsi terhadap gawai ini juga memprihatinkan, dimana Indonesia merupakan negara ke-7 dengan limbah elektronik terbanyak dengan 1618 kiloton limbah setiap tahunnya (The Round Up, 2023). Sampah elektronik ini juga bisa menjadi isu sendiri dimana cara pengelolaannya seharusnya berbeda dengan sampah-sampah lainnya. Sampah elektronik yang sudah tidak digunakan seharusnya dikelola dengan cara diantarkan ke pusat limbah elektronik yang tersedia.
Sebagai gambaran, masyarakat Indonesia menghabiskan Rp995,39 triliun untuk pembelian makanan dan minuman, Rp498,20 triliun di transportasi dan komunikasi, dan Rp83,10 triliun di pakaian dan alas kaki (Kusnandar, 2022). Hal ini berkontribusi terhadap kenaikan jumlah konsumsi hingga 4.34% pada kuartal 1 tahun 2022 lho! Mirisnya juga, seringkali generasi muda di Indonesia terjebak di pola konsumerisme yang berujung pada hutang dan pengeluaran yang tidak terkendali. Kalau kita melihat data, penduduk usia 19-34 tahun menyumbang nilai kredit macet online terbesar dengan akumulasi jumlah gagal bayar mencapai Rp763 M atau setara dengan 44% dari jumlah total kredit macet nasional (Databoks, 2023)!
Penggunaan e-commerce yang marak saat ini juga bisa meningkatkan akses masyarakat terhadap pembelian barang yang di sisi lain juga mempunyai efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tetapi di sisi lain juga apabila tidak diregulasi dengan benar, dampak negatif dari konsumerisme seperti terhadap lingkungan dan budaya hedonisme juga dapat menimbulkan ancaman lain bagi masyarakat dan lingkungan di kemudian hari.
Pada tahun 1999, pemerintah sudah mengeluarkan Undang-Undang (UU) yang bertujuan untuk melindungi konsumen (UU No.8/1999) di mana pada pasal tiga, masyarakat dihimbau untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian untuk melindungi diri dari sikap konsumerisme. Pada tahun 2019 juga pemerintah menggalakan sosialisasi.
Namun demikian, ternyata pemerintah belum mampu nih untuk menekan angka praktik konsumerisme di Indonesia. Hal ini ditunjukan dengan tingkat limbah terkait makanan, fashion, dan gawai yang masih tinggi.
Sebagaimana yang mungkin teman-teman sudah ketahui, UN (United Nation/ Perserikatan Bangsa-Bangsa) adalah organisasi internasional yang mempunyai tujuan utama untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia. UN sendiri juga sudah memiliki beberapa program berkaitan dengan isu ini. Hal ini tertuang dalam SDG (Sustainable Development Goals/ Agenda Pembangunan Berkelanjutan) yang diadopsi oleh 193 negara anggota yang diharapkan dapat dicapai pada tahun 2030. SDG poin ke-12 yang bertujuan untuk mendorong adanya konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, menegaskan adanya promosi penggunaan sumber daya yang berkelanjutan, pengurangan pembuangan limbah, serta mendorong perusahaan dan konsumen untuk mengadopsi praktik-praktik konsumsi dan produksi yang berkelanjutan.
Selain melalui SDG, 10 Year Framework of Programmes on Sustainable Consumption and Production Patterns (10YFP) yang merupakan kerangka kerja global memiliki tujuan untuk meningkatkan kerja sama internasional dan percepatan peralihan menuju pola konsumsi yang lebih baik, baik di negara berkembang dan negara maju. 10YFP mulai diadopsi pada tahun 2012 melalui konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan. Enam program yang dilakukan meliputi:
Nah jadi, sebagai anak muda apa nih yang kira-kira bisa kita lakukan untuk mengatasi hal ini? Untuk mencegah budaya konsumerisme yang berlebihan, anak muda memiliki peran penting untuk mengubah paradigma terhadap konsumsi. Anak muda memang dipandang mempunyai sikap positif terhadap keberlanjutan, tapi seringkali kurang pengetahuan dan arahan yang dimiliki untuk mewujudkannya (Francis & Davis, 2014). Berikut beberapa contoh yang bisa kamu lakukan untuk sama-sama kita menekan tingkat konsumerisme nih teman-teman: